“Manusia sama saja dengan binatang,
selalu perlu makan.
Namun caranya berbeda dalam memperoleh
makanan.
Binatang tak mempunyai akal dan
pikiran
Segala cara halalkan demi perut
kenyang
Binatang tak pernah tahu rasa belas
kasihan
Tak peduli sahabat kental kurus kering kelaparan “
(Opini, Iwan Fals)
Petikan lagu di atas bukan omong kosong dan mimpi
disiang bolong.. Sebab kenyataannya orang berebut posisi demi uang, harga diri
dan gengsi. Seperti yang terjadi saat ini, di mana penduduk Indonesia sangat
membutuhkan suatu pedoman pembelajaran (dalam hal ini kurikulum) untuk
meningkatkan mutu pendidikan. Mereka sibuk mencari proyek pembuatan kurikulum
terbaru dan tercanggih yang dapat digunakan sampai akhir zaman.
Apakah Anda ingat, berapa
kali kurikulum kita berubah? Tentu jawabannya, wah, lupa-lupa ingat. Mengapa
jawabannya demikian? Karena telinga kita
terlalu sering mendengar pergantian kurikulum, sampai berkali-kali. Wajar saja
kalau Anda berpikiran seperti itu karena memang dunia pendidikan kita rajin
sekali berubah dan tak pernah ajeg. Selalu “mengambang”. Bahkan banyak kalangan
mengatakan, ganti menteri ganti kurikulum. Mereka ingin dipandang sebagai
ilmuwan yang kreatif, inovatif, dan produktif. Bahkan ingin menjadi “pahlawan
pendidikan”. Ada semacam gengsi jika mereka tidak merubah kurikulum.
Perubahan kurikulum
tersebut, menurut catatan, lebih dari enam kali, yaitu pada tahun 1962, 1968,
1975, 1984, 1994, 2004, dan kemarin, baru saja guru sedikit memahami KTSP, kini harus dignti lagi dengan kurikulum yang katanya lebih sederhana, yang akan dapat lebih dipahami oleh peserta didik.
Masalah baru akan timbul pada pemabgian jumlah jam mengajar per minggu, dengan adanya syarat mutlak untuk mendapatkan tunjangan profesi, yakni setiap guru kelas harus memiliki minimal 24 jam per minggu. lihat saja, banyak guru PNS yang berebut jam dengan guru PNS lain, yang lebih mengenaskan, guru PNS tega mengambil jam guru sukwan demi sebuah tunjangan.
Monster apalagi ini? Mereka tidak pernah tahu
bahkan mungkin tidakl mau tahu bahwa dampak yang ditimbulkan dengan adanya
bongkar pasang kurikulum akan sangat berpengaruh terhadap lembaga pendidikan dan orang tua siswa.
Rakyat menjerit, karena tingkat perekonomian masyarakat kita jauh di bawah
standar. Mereka harus membeli buku baru, sesuai dengan kurikulum yang tengah
diterapkan. Setiap tahun pelajaran baru, maka bukunya pasti baru. Demikian pula
dengan sekolah. Pihak guru selalu direpotkan dengan memilih penerbit mana yang
sesuai dengan kurikulum yang sedang berlaku dan harganya paling murah. Buku
yang berisi kurikulum pun harus dibeli dengan harga yang sangat mahal. Cukup
untuk gaji seorang guru honor selama satu bulan. Lucunya lagi, pedoman tentang
kurikulum sudah beredar, buku-buku yang sesuai dengan kurikulum pun belum ada
yang menerbitkan. Bagaimana mereka bisa
belajar?
Para guru pusing dengan keadaan
demikian, karena mereka harus mengganti satuan pelajaran yang biasanya hanya
dengan mengganti tanggal dan tahunnya, mereka dapat memperoleh kredit poin
untuk mendapatkan “kenaikan pangkat”, sekarang mereka harus menggantinya
dengan yang baru.
Betapa tragis dan
mengenaskannya dunia pendidikan kita. Uang BOS akhirnya sebagian besar
digunakan untuk membeli buku baru, karena buku lama sudah tidak sesuai lagi
dengan kurikulum. Celakanya lagi, buku-buku tersebut sudah “didrop” oleh
oknum yang tidak bertanggung jawab.
Lantas, bagaimana dengan
aspek-aspek lain yang seharusnya mendapat pehatian dari uang BOS, sepertii
peningkatan kinerja guru, kepala sekolah, honor guru-guru sukwan yang tanpa
uang tersebut mereka “senen kemis” menatap masa depan dan perawatan
gedung yang sebagian besar sudah hampir roboh dimakan usia. Sekarang
sekolah-sekolah disibukkan dengan pergantian kurikulum. Mereka tidak berpikir
betapa susahnya mengajar, mendidik dan mengelola administrasi sekolah. Menurut
instruksi atasan, perawatan buku-buku pelajaran ditentukan harus masih tetap
bagus selama enam tahun. Apakah mereka tidak tahu, kelakuan dan kebiasaan anak
didik apabila dibagikan buku untuk mempermudah menyampaikan materi pelajaran,
buku tersebut akan kumal dan robek. Sebab keseharian pada waktu sekolah saja,
anak didik kita berpakaian seadanya dengan pakaian seragam merah putih yang
ganti empat hari sekali. Ini dapat dilihat di desa-desa wilayah Kecamatan
Terisi khususnya. Mereka hanya berpikir dengan pergantian kurikulum, bisnis
perbukuan untuk didrop di sekolah-sekolah akan mendapatkan banyak keuntungan.
Alhasil, kadang-kadang buku tersebut tidak sesuai dengan kurikulum yang sedang
berlaku. Para gurulah yang menjadi korban!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar