Senin, 04 Maret 2013

Berangkat dari kopi yang hanya tinggal secuil, aku tinggalkan sejenak Cendrawasih yang tertidur dalam harapan yang mudah-mudahan akan berpihak padanya.
Ku lirik setumpuk kertas yang disuguhkan dalam kemasan yang sedikit acak-acakan. setiap aku baca, selalu menanyakan aku bagaimana? aku giliran kapan? aku kapan kelarnya?
Begitu juga dengan kehidupan. Tak terkecuali kita. mana ujung pangkalnya, mana awal akhirnya, apa yang kita banggakan untuk Sang Pencipta kalau memang kita ini sadar, bahwa kita akan berpulang pada-Nya.
namun, kita sering berhadapan dengan berbagai sifat dan tabiat manusia. Kita begitu pandai menilai seseorang dari berbagai segi, tak peduli dalam keadaan mabuk atau sadar. 
(wah... ngomongnya udah kaya kyai)
Ini sekedar tinjauan saja, tapi bukan tinjauan cuaca nih, tinjauan cuaca udah ada yang ngurusin.
Loh...kok jadi males nglanjutin nulis yang gituan, aku takut dikatain sotoy, orang penting, orang baik padahal munafik atau apalah. mending bikin kalian pusing dengan isi puisi-puisian yang tak berbingkai dan tak bernilai.

KOKOK AYAM TRONDOL

Sudah ku ajarkan kepadamu,
bagamaina seharusnya menjadi seekor ayam Bekisar.
Tapi, mengapa kau malah memilih menjadi ayam Trondol....?


Sudah ku ajarkan kepadamu,
bagamaina seharusnya menjadi Cendrawasih.
Tapi mengapa kau malah memilih menjadi burung hantu....?


Sudah ku ajarkan kepadamu, 
bagaimana seharusnya menjadi Kartini sejati.
Tapi, mengapa kau malah memilih menjadi Zarima yg masuk bui...?

Menarilah kamu berkali-kali,
sampai gincu dan kedipan matamu terseret ilusi,
menjadi  bidadari dalam sepi yang perlahan dihisap api.

Mati...,mati...,matilah asa dan mimpi.
Tinggal sesal tanpa arti.

(segini dulu ya, ntar dilanjutin lagi)









Tidak ada komentar:

Posting Komentar