Rabu, 27 Maret 2013

Membunuh Matahari dalam Suluh Sukwan

Lahir dalam kancah pembelaan terhadap warisan Ki Hajar Dewantoro,
Mati dalam jerat pewaris sumpah jabatan dalam ajaran Ki Hajar Dewantoro.

Seperti itulah kenyataannya...
Ketika seorang sukwan susah payah mengais nasib digenggaman harapan yang mungkin menjadi cita-cita yang kerap bersenandung dalam doa malam, walau mungkin Tuhan belum sempat mengabulkannya.
Ketika tiba-tiba harapan itu dipatahkan oleh kekuasaan yang tak sanggup untuk dielakkan apalagi dipelihara...
Lantas dari mana kita memulai harapan dan keinginan negeri ini untuk membangunkan semangat baru yang telah dikalahkan oleh negeri-negeri lain yang seyogyanya lebih rendah dari kita?
Perilaku ini jelas telah mengorbankan perjuangan yang telah dipertaruhkan  dengan tetesan darah dan lautan air mata para pahlawan.
Begitu hebatkah sebuah jabatan, hingga harus mengorbankan para sukwan pendidikan?
Mengenaskan memang, jika harus demikian.
Memposisikan diri di dalam ruang yang tak sanggup dijamah oleh tikus-tikus kromod,
Memberanian diri dalam kebijakan yang menyengsarakan? 
Tanpa sukwan, apalah artinya pendidikan, walau memang ada yang mungkin tidak seperti yang diharapkan.
Tapi setidaknya kita prihatin dengan keadaan seperti ini.
Lihatlah dengan mata tanpa pura-pura...
Di setiap kegiatan manapun, sukwan adalah andalannya.
Kita sendiri sebagai pemegang sumpah jabatan tinggal berongkan-ongkang kaki, menyuruh itu ini, meningglkan sekolah sana sini, kamu harus begitu begini, kemudian tanpa malu menayakan mana hasilnya selama ini?
Terlalu banyak berharap, mungkin. Ketika anak-anak kita menempuh pendidikan di STKIP-STKIP kemudian lulus dan ingin menjadi pengabdi negei ini?
Entah itu menyukwan atau menjadi pegawai negeri. Hingga datang sebuah peraturan yang menutup segala jenis pengangkatan sebagi sukwan, demi mengentaskan sukwan yang katanya akan diangkat sebagai pegawai negeri.
Lantas untuk apa kita sekolah keguruan?
Sebutlah aku ini miskin ilmu tentang pendapat ini atau kalau dalam istilah kitab alfiah itu disebut sebagai cingkrange santri. 
Tapi itulah yang berkembang.
Sukwan hanya  untuk mereka yang tidak punya nilai tukar, sukwan hanya untuk mereka yang tidak bisa memposisikan diri dalam rebutan jabatan.
Pengangkatan sukwan kadang oleh sebagian orang ditakuti sebagai musibah, karena akan menguras Penggunaan uang BOS,
Pengangkatan sukwan katanya akan memperkeruh suasana sekolah,
Pengangkatan sukwan hanya akan membelitkan uang tabungan, karena akan membawa pegawai negeri ke dalam permasalahan utang piutang...
(padahal pegawai negeri itu sarangnya utang)
Kita menganggap bahwa sukwan itu rendah, tidak bernilai, tidak bergengsi, tidak up to date, tidak dan tidak.
Kita pegawai negeri adalah hebat, bisa pamer, bisa mencemooh, bisa apa saja seperti layaknya dora emon.
Ketahuilah...
Jika kau rendahkan yang kecil, maka rendahlah diri kita. 
Bahkan mungkin bisa seperti manusia langka yang dipertontonkan di pentas-pentas akrobat pasar malam.

wassalam, 



 
 

Senin, 04 Maret 2013

Berangkat dari kopi yang hanya tinggal secuil, aku tinggalkan sejenak Cendrawasih yang tertidur dalam harapan yang mudah-mudahan akan berpihak padanya.
Ku lirik setumpuk kertas yang disuguhkan dalam kemasan yang sedikit acak-acakan. setiap aku baca, selalu menanyakan aku bagaimana? aku giliran kapan? aku kapan kelarnya?
Begitu juga dengan kehidupan. Tak terkecuali kita. mana ujung pangkalnya, mana awal akhirnya, apa yang kita banggakan untuk Sang Pencipta kalau memang kita ini sadar, bahwa kita akan berpulang pada-Nya.
namun, kita sering berhadapan dengan berbagai sifat dan tabiat manusia. Kita begitu pandai menilai seseorang dari berbagai segi, tak peduli dalam keadaan mabuk atau sadar. 
(wah... ngomongnya udah kaya kyai)
Ini sekedar tinjauan saja, tapi bukan tinjauan cuaca nih, tinjauan cuaca udah ada yang ngurusin.
Loh...kok jadi males nglanjutin nulis yang gituan, aku takut dikatain sotoy, orang penting, orang baik padahal munafik atau apalah. mending bikin kalian pusing dengan isi puisi-puisian yang tak berbingkai dan tak bernilai.

KOKOK AYAM TRONDOL

Sudah ku ajarkan kepadamu,
bagamaina seharusnya menjadi seekor ayam Bekisar.
Tapi, mengapa kau malah memilih menjadi ayam Trondol....?


Sudah ku ajarkan kepadamu,
bagamaina seharusnya menjadi Cendrawasih.
Tapi mengapa kau malah memilih menjadi burung hantu....?


Sudah ku ajarkan kepadamu, 
bagaimana seharusnya menjadi Kartini sejati.
Tapi, mengapa kau malah memilih menjadi Zarima yg masuk bui...?

Menarilah kamu berkali-kali,
sampai gincu dan kedipan matamu terseret ilusi,
menjadi  bidadari dalam sepi yang perlahan dihisap api.

Mati...,mati...,matilah asa dan mimpi.
Tinggal sesal tanpa arti.

(segini dulu ya, ntar dilanjutin lagi)